Legalisme adalah salah satu ideologi filsafat Cina klasik yang tumbuh pada periode yang kurang lebih sama dengan Konfusianisme (masa negara-negara berperang). Pemikir terbesar dari ajaran ini adalah Han Feizi yang berasal dari negara Han (pada masa dinasti Zhou, bukan dinasti Han). Walaupun berasal dari Han, tapi justru ajaran ini digunakan oleh Kaisar pertama China, Qin Shi Huangdi. Dengan kata lain, justru bukan Konfusianisme, tapi Legalisme yang telah berjasa mempersatukan China.
Pencetus ajaran ini adalah Shang Yang, seorang menteri dari Dinasti Shang. Ajaran ini kemudian mencapai puncaknya pada pemikiran Han Feizi berkat kitab Fa Jia yang dia tulis. Berbeda dengan Konfusianisme yang agak meragukan keasliannya, Legalisme berhasil didokumentasikan dengan baik dan keasliannya masih terjaga. Ia juga menjadi satu-satunya pemikiran klasik yang dokumennya lengkap.
Han Feizi, sebagai seorang pangeran dari negeri Han, adalah seorang yang cerdas tapi memiliki masalah gagap dalam berbicara. Sewaktu muda ia belajar Konfusianisme pada Xun Zi, bersama dengan calon perdana menteri negeri Qin, Li Si. Namun justru pada hukumlah hatinya tertambat. Dia melihat bahwa moral bukanlah patokan utama untuk membuat keteraturan. Ia berpendapat bahwa manusia pada dasarnya jahat dan mempunyai kecenderungan untuk melanggar hukum, untuk itu diperlukan hukum yang ketat untuk mencegah mereka.
Pemikirannya tidak diterima di negerinya sendiri (Han), sehingga dia pergi menemui kawannya, Li Si, yang telah menjadi perdana menteri dari raja Qin. Li Si yang menyadari pemikirannya yang cemerlang malahan mengkhianatinya dan menjebloskan Han Fei ke penjara dengan tuduhan mata-mata dari negeri Han. Kitab pemikiran Han Fei kemudian dirampas dan diberikan kepada raja Qin, yang kemudian menggunakannya sebagai ideologi negara.
Pola pemikiran Legalisme sangat pragmatis dan cenderung menghindari utopia seperti Konfusianisme. Pemikirannya sangat sederhana dengan dasar pemikiran, “orang yang berbuat jasa akan diberi hadiah sedangkan yang berbuat kesalahan akan diberikan hukuman”. Pada akhirnya, memang semua bawahan dari Qin Shi Huang sangat patuh pada perintah jenderalnya.
Berkat pemikiran ini, Qin Shi Huang dikenal sebagai raja tiran yang sangat kejam (hampir dalam semua literatur Qin Shi Huang digambarkan demikian, mungkin hanya film Hero-nya Zhang Yimou yang dibintangi Jet Li yang menggambarkan Qin Shi Huang secara berbeda). Ribuan orang dihukum karena kesalahan mereka. Dinasti Qin akhirnya dikenal sebagai dinasti yang pertama sukses mempersatukan Cina, tapi juga sangat cepat jatuh. Ini tidak lain karena penerapan Legalisme ini membutuhkan penguasa yang kuat (Er Huang Di bukanlah penguasa yang kuat sehingga kekuasaannya jatuh oleh pemberontakan Liu Bang / Han Gaozu).
Qin Shi huang bukan hanya menyatukan Cina dalam hal wilayah, tapi juga dalam banyak hal lainnya. Tulisan yang berbeda-beda dipersatukan. Ukuran dan takaran, bahkan hingga aturan pembangunan jalan disetarakan di seluruh Cina. Pertahanan negeri ditingkatkan (pembangunan Chang Cheng / Great Wall) untuk mencegah serangan Mongol. Hanya ada satu hal yang sangat disayangkan yaitu pembakaran kitab dan pembantaian dari pemikir mazhab lain, untuk menjaga Legalisme.
Pendapat penulis, pada zaman kekacauan memang kepastian hukum lebih diperlukan dari ajaran moral. Pragmatisme hukum yang pasti dan tegas diperlukan untuk menertibkan “dunia” (Tian xia). Sejarah membuktikan bahwa memang tokoh-tokoh yang cenderung tiranlah yang berhasil mempersatukan negeri. Pada masa Tiga Kerajaan, Wei, yang paling kejamlah yang berhasil. Dinasti Ming juga didirikan oleh seorang mantan penjahat yang ketat menjaga keamanan dirinya dan tidak mempercayai orang lain, dan ia bisa menjadi dinasti yang paling settle setelah kejatuhan Tang.
Sejarah membuktikan bahwa peristiwa akan berulang. Kepemimpinan yang didasarkan pada sikap tangan besi kini kembali menguasai tanah Cina. Sejak 1949 pemerintah komunis mendirikan “dinasti” yang telah bertahan hampir 60 tahun. Pada awal kekuasaannya tidak bisa dipungkiri bahwa PKC menggunakan sistem tangan besi dengan aturan yang ketat untuk menjaga kestabilan pemerintahannya. Masa-masa revolusi itu telah berhasil dilewati dan kini PKC dan Cina telah menjadi “Ming” baru yang stabil.
Kini, PKC kembali melakukan dialektika untuk menyesuaikan diri dengan kondisi dunia. Dengan menganut sistem ekonomi yang bebas, PKC memberikan kesejahteraan pada sebagian besar warganya dan berhasil memberikan kebutuhan dasar pada hampir seluruh warganya. Bila dianalogikan, maka kini PKC telah menjadi dinasti yang menggunakan Konfusianisme dan mulai menanggalkan Legalisme yang dianutnya dulu (1940an hingga 1989). Keberhasilan ini memberikan legitimasi pada PKC untuk berkuasa.
Bila pada masa lalu martir dari keberhasilan adalah Han Fei, maka kini yang menjadi martir PKC adalah Mao Zedong. Walaupun secara de jure masih dipuja, tapi pada masa awal kepemimpinannya, Deng Xiaoping banyak menggunakan tesis anti-Mao untuk menggerakkan roda pemerintahannya. Han Gaozu zaman kontemporer kita adalah Deng Xiaoping, dan Han Wudinya adalah Hu Jintao (setidaknya hingga kini) dengan keberhasilannya membawa rezim PKC pada puncak kegemilangannya.
Sejarah mencatat bahwa roda nasib selalu berputar. Apa yang ada di atas pasti akan turun pada suatu waktu. Kekuasaan adalah contoh nyata dari tesis ini. Partai (pihak) yang berkuasa ada kalanya pasti turun. Di Amerika, Demokrat dan Republikan terus bersaing dalam hal apapun dan selalu bergantian memimpin. Di Indonesia, Golkar yang tadinya tidak tersentuh kini harus bergantian dalam menjadi nakhoda negeri ini. Kini, hanya waktu yang bisa membuktikan apakah rezim di Cina akan berputar...
Selasa, 27 Mei 2008
Rabu, 21 Mei 2008
Tiananmen, Demokrasi, CIA
Peristiwa Tiananmen 1989 yang sangat terkenal itu, menyimpan indikasi adanya pengaruh asing dalam kejadian di Cina saat itu. Kejadian yang bermula dari “sekedar” peringatan berkabung untuk Hu Yaobang ternyata berkembang menjadi sebuah gerakan masal untuk menuntut demokrasi. Dalam tulisan ini, penulis bernat mengupas beberapa teori yang merujuk pada campur tangan pihak asing dalam peristiwa Tiananmen.
Peristiwa Tiananmen adalah peristiwa besar yang terjadi dalam latar belakang perang dingin. Perang yang berintikan perebutan pengaruh dari dua blok kekuatan besar dunia (blok barat dan timur) ini masih berkobar di seluruh penjuru dunia, dan sebagai negara komunis, maka Cina menjadi salah satu ancaman terbesar bagi Amerika Serikat (blok Barat) dan sekutu-sekutunya.
Perlu diingat bahwa pada masa itu peperangan bukan dilakukan dengan persenjataan. Peperangan antara dua ideologi besar dunia itu dilakukan dengan melalui perebutan pengaruh di suatu region, termasuk Asia Timur. Cara merebut pengaruh bisa melalui berbagai cara. Yang paling lazim adalah melalui sektor ekonomi dengan berbagai bantuan, seperti Truman Doctrine dan lain-lain.
Cara lain yang juga sangat ampuh untuk meningkatkan pengaruh di suatu kawasan atau negara adalah dengan cara-cara agitasi dan propaganda. Ini adalah zaman keemasan untuk para spion. Masing-masing pihak saling mengirimkan mata-mata ke pihak lawan untuk menyebarkan faham-faham dan terutama untuk meningkatkan keresahan (discontent) di kalangan rakyat yang tidak puas. Selain itu, penyebaran isu global juga dikeluarkan melalui peran pers dan kalangan muda kelas menengah yang progresif terhadap pembaruan. Inilah yang kemungkinan terjadi di negeri Cina pada saat peristiwa Tiananmen.
Sebagai sebuah negara komunis, Cina terus dipantau oleh Blok Barat sebagai ancaman utama. Apalagi, perkembangan ekonomi yang menakjubkan selama 10 tahun sejak Reformasi 1978 telah menjadikan Cina sebagai naga yang baru. Walaupun sejak 1960 Cina berkonflik dengan Uni Sovyet sebagai dedengkot komunisme, tapi ideologi yang digunakan masih tetap sama.
Untuk memulai sebuah revolusi dan perubahan, perlu penyulut dari dalam dan pendorong dari luar. Penyulut dari dalam yang terbesar adalah masalah kesenjangan sosial yang muncul sebagai dampak sampingan dari kapitalisasi ekonomi. Sebagaimana negara lainnya, kesenjangan miskin-kaya muncul sejak komune dihapuskan. Penyulut di dalam kedua yang jelas terlihat adalah masalah korupsi yang dilakuka pejabat dan keluarganya. Yang menjadi masalah adalah demokrasi. Bagaimana mungkin konsep demokrasi muncul di Cina?
Ketika kemudian muncul permintaan tentang demokratisasi, maka, Pertanyaan yang muncul kemudian adalah: dari mana rakyat Cina mendapatkan suatu konsep demokrasi, dan, demokrasi seperti apa yang ingin diwujudkan oleh pemuda Cina sebagai pembaharuan kelima? Ingat! Kalau rakyat Cina tidak tahu mengenai demokrasi, mana mungkin mereka ingin demokrasi? Tidak mudah untuk mewujudkan demokrasi. Walaupun undang-undang organis yang mengatur demokrasi disetujui pada medio 1980an, tapi praktek untuk pembuatan komite desa (demokrasi terendah di Cina) sendiri baru selesai pada 1990.
Perlu diingat bahwa informasi bukanlah suatu hal yang mudah didapat di Cina. Tambahan lagi, semua informasi dibatasi dengan segala hal yang disampaikan dalam Renmin Ribao sebagai koran resmi pemerintah dan corong utama informasi di Cina. Internet pada masa itu belum dikenal, sehingga belum bisa menjadi sumber informasi alternatif, seperti yang dikemukakan Robert Dahl. Demokrasi yang dikenal Cina adalah ”demokrasi” yang kerap disebut oleh Mao Zedong, alias demokrasi yang mendukung legitimasi dan hegemoni partai. Jangankan bicara demokrasi Rousseau, pembagian kekuasaan (trias politica) Montesquie saja masih belum dilakukan di Cina!
Yang paling memungkinkan untuk menjadi penyebar konsep demokrasi adalah para mahasiswa, reporter berita, pejabat dan mata-mata asing. Mari kita kesampingkan pejabat, yang tidak mungkin dengan sengaja menyebar demokrasi Barat. Reporter adalah golongan yang punya akses cukup dengan dunia luar, tapi mengingat pengawasan terhadap mereka, kemungkinan kecil untuk menyebarkan faham demokrasi. Yang paling mungkin adalah mahasiswa dan mata-mata asing!
Mata-mata asing menyusup dengan dua cara: memasukkan orang asing ke Cina atau menggunakan orang lokal yang diperdaya atau direkrut secara sukarela. Melihat komposisi yang turun pada peristiwa saat itu, kemungkinan besar, mahasiswa adalah institusi pertama yang dimasuki oleh asing, baru kemudian ke bagian lain. Mahasiswa dikatakan sebagai pilar demokrasi yang kelima, tapi dalam kasus Cina, mengingat pilar satu sampai empat mati suri (atau terancam mati dtitodong bedil), maka bisa dikatakan bahwa mahasiswa adalah pembawa panji demokrasi satu-satunya.
Kemungkinan besar, inilah yang terjadi. Mahasiswa dimanfaatkan oleh asing untuk memasukkan faham demokrasi, dan kemudian dengan memanfaatkan momen berkabung Hu Yaobang, kegiatan itu disetir untuk menjadi sebuah demonstrasi untuk menuntut demokrasi.
Ada sebuah teori menarik tentang demonstrasi. Bila di Amerika ada sekelompok kecil orang berdiri sambil berteriak-teriak di depan Gedung Putih, maka mereka akan sekedar lewat saja. Bila jumlahnya agak banyak mereka akan geleng-geleng kepala dan kalau banyak sekali mereka akan menjadikan itu tontonan. Bila di Cina ada yang berdiri dan berteriak protes di Tiananmen, bila didiamkan, dalam 10 menit menjadi 10 orang, satu jam bertambah 1000 orang, dan dalam sehari menjadi puluhan ribu orang! Untuk itu, pemerintah Cina tidak bisa mendiamkan begitu saja masalah ini, dan mengambil tindakan tegas dalam mengatasi masalah.
Inilah yang diincar oleh blok Barat. Penghancuran nama dari anggota blok Timur. Setahun berikutnya terbukti bahwa keputusan yang diambil pemerintah PKC untuk mempertahankan kekuasaannya tepat. 1990, tembok Berlin runtuh... dan tidak lama kemudian tinggal Cina dan Korea Utara yang tersisa sebagai bekas blok Timur di kawasan Asia Timur.
Peristiwa Tiananmen adalah peristiwa besar yang terjadi dalam latar belakang perang dingin. Perang yang berintikan perebutan pengaruh dari dua blok kekuatan besar dunia (blok barat dan timur) ini masih berkobar di seluruh penjuru dunia, dan sebagai negara komunis, maka Cina menjadi salah satu ancaman terbesar bagi Amerika Serikat (blok Barat) dan sekutu-sekutunya.
Perlu diingat bahwa pada masa itu peperangan bukan dilakukan dengan persenjataan. Peperangan antara dua ideologi besar dunia itu dilakukan dengan melalui perebutan pengaruh di suatu region, termasuk Asia Timur. Cara merebut pengaruh bisa melalui berbagai cara. Yang paling lazim adalah melalui sektor ekonomi dengan berbagai bantuan, seperti Truman Doctrine dan lain-lain.
Cara lain yang juga sangat ampuh untuk meningkatkan pengaruh di suatu kawasan atau negara adalah dengan cara-cara agitasi dan propaganda. Ini adalah zaman keemasan untuk para spion. Masing-masing pihak saling mengirimkan mata-mata ke pihak lawan untuk menyebarkan faham-faham dan terutama untuk meningkatkan keresahan (discontent) di kalangan rakyat yang tidak puas. Selain itu, penyebaran isu global juga dikeluarkan melalui peran pers dan kalangan muda kelas menengah yang progresif terhadap pembaruan. Inilah yang kemungkinan terjadi di negeri Cina pada saat peristiwa Tiananmen.
Sebagai sebuah negara komunis, Cina terus dipantau oleh Blok Barat sebagai ancaman utama. Apalagi, perkembangan ekonomi yang menakjubkan selama 10 tahun sejak Reformasi 1978 telah menjadikan Cina sebagai naga yang baru. Walaupun sejak 1960 Cina berkonflik dengan Uni Sovyet sebagai dedengkot komunisme, tapi ideologi yang digunakan masih tetap sama.
Untuk memulai sebuah revolusi dan perubahan, perlu penyulut dari dalam dan pendorong dari luar. Penyulut dari dalam yang terbesar adalah masalah kesenjangan sosial yang muncul sebagai dampak sampingan dari kapitalisasi ekonomi. Sebagaimana negara lainnya, kesenjangan miskin-kaya muncul sejak komune dihapuskan. Penyulut di dalam kedua yang jelas terlihat adalah masalah korupsi yang dilakuka pejabat dan keluarganya. Yang menjadi masalah adalah demokrasi. Bagaimana mungkin konsep demokrasi muncul di Cina?
Ketika kemudian muncul permintaan tentang demokratisasi, maka, Pertanyaan yang muncul kemudian adalah: dari mana rakyat Cina mendapatkan suatu konsep demokrasi, dan, demokrasi seperti apa yang ingin diwujudkan oleh pemuda Cina sebagai pembaharuan kelima? Ingat! Kalau rakyat Cina tidak tahu mengenai demokrasi, mana mungkin mereka ingin demokrasi? Tidak mudah untuk mewujudkan demokrasi. Walaupun undang-undang organis yang mengatur demokrasi disetujui pada medio 1980an, tapi praktek untuk pembuatan komite desa (demokrasi terendah di Cina) sendiri baru selesai pada 1990.
Perlu diingat bahwa informasi bukanlah suatu hal yang mudah didapat di Cina. Tambahan lagi, semua informasi dibatasi dengan segala hal yang disampaikan dalam Renmin Ribao sebagai koran resmi pemerintah dan corong utama informasi di Cina. Internet pada masa itu belum dikenal, sehingga belum bisa menjadi sumber informasi alternatif, seperti yang dikemukakan Robert Dahl. Demokrasi yang dikenal Cina adalah ”demokrasi” yang kerap disebut oleh Mao Zedong, alias demokrasi yang mendukung legitimasi dan hegemoni partai. Jangankan bicara demokrasi Rousseau, pembagian kekuasaan (trias politica) Montesquie saja masih belum dilakukan di Cina!
Yang paling memungkinkan untuk menjadi penyebar konsep demokrasi adalah para mahasiswa, reporter berita, pejabat dan mata-mata asing. Mari kita kesampingkan pejabat, yang tidak mungkin dengan sengaja menyebar demokrasi Barat. Reporter adalah golongan yang punya akses cukup dengan dunia luar, tapi mengingat pengawasan terhadap mereka, kemungkinan kecil untuk menyebarkan faham demokrasi. Yang paling mungkin adalah mahasiswa dan mata-mata asing!
Mata-mata asing menyusup dengan dua cara: memasukkan orang asing ke Cina atau menggunakan orang lokal yang diperdaya atau direkrut secara sukarela. Melihat komposisi yang turun pada peristiwa saat itu, kemungkinan besar, mahasiswa adalah institusi pertama yang dimasuki oleh asing, baru kemudian ke bagian lain. Mahasiswa dikatakan sebagai pilar demokrasi yang kelima, tapi dalam kasus Cina, mengingat pilar satu sampai empat mati suri (atau terancam mati dtitodong bedil), maka bisa dikatakan bahwa mahasiswa adalah pembawa panji demokrasi satu-satunya.
Kemungkinan besar, inilah yang terjadi. Mahasiswa dimanfaatkan oleh asing untuk memasukkan faham demokrasi, dan kemudian dengan memanfaatkan momen berkabung Hu Yaobang, kegiatan itu disetir untuk menjadi sebuah demonstrasi untuk menuntut demokrasi.
Ada sebuah teori menarik tentang demonstrasi. Bila di Amerika ada sekelompok kecil orang berdiri sambil berteriak-teriak di depan Gedung Putih, maka mereka akan sekedar lewat saja. Bila jumlahnya agak banyak mereka akan geleng-geleng kepala dan kalau banyak sekali mereka akan menjadikan itu tontonan. Bila di Cina ada yang berdiri dan berteriak protes di Tiananmen, bila didiamkan, dalam 10 menit menjadi 10 orang, satu jam bertambah 1000 orang, dan dalam sehari menjadi puluhan ribu orang! Untuk itu, pemerintah Cina tidak bisa mendiamkan begitu saja masalah ini, dan mengambil tindakan tegas dalam mengatasi masalah.
Inilah yang diincar oleh blok Barat. Penghancuran nama dari anggota blok Timur. Setahun berikutnya terbukti bahwa keputusan yang diambil pemerintah PKC untuk mempertahankan kekuasaannya tepat. 1990, tembok Berlin runtuh... dan tidak lama kemudian tinggal Cina dan Korea Utara yang tersisa sebagai bekas blok Timur di kawasan Asia Timur.
Minggu, 20 April 2008
Awal Munculnya Pemikiran Filsafat China Klasik
Pemikiran filsafat klasik merupakan salah satu kekayaan kebudayaan Cina kuno yang paling bisa dibanggakan. Biasanya orang selalu merujuknya pada Konfusianisme, yang sebenarnya hanya merupakan salah satu dari banyak aliran yang muncul di Cina kuno. Sebenarnya seperti apakah awal dari kemunculan banyak aliran tersebut?
Pemikiran Cina kuno mulai berkembang sejak masa dinasti Zhou Timur (770 – 256 SM), tepatnya pada masa Musim Semi dan Musim Gugur (nama yang diambil dari Spring and Autumn Annals). Pada masa ini, pemikiran dan berbagai negara bermunculan (semi) dan hancur (gugur) dengan banyaknya, hingga muncul perkataan “seratus bunga bermekaran seratus pemikiran bermunculan”. Pada masa ini juga muncul nama-nama besar seperti Kong Zi (Konfusianisme), Lao Zi (Dao), Mo Zi (Mohisme), Han Feizi (Legalisme) hingga jenderal besar seperti Sun Zi.
Perlu diingat bahwa bangsa Cina adalah bangsa yang menerapkan pemikiran yang inward looking sehingga dalam menghadapi masalah mereka selalu melihat pemecahannya dari dalam diri mereka sendiri. Hal yang sama berlaku juga pada masa itu. Peperangan yang terus berlangsung (hingga akhirnya kekuasaan mengerucut hingga 7 negara pada Warring States / Zhan Guo, yang akan dibahas pada posting lain) dicari akar permasalahannya dan pemecahannya dari dalam diri mereka sendiri.
Kesimpulan yang ditarik oleh sebagian besar dari pemikir-pemikir klasik itu adalah rusak dan korupnya masyarakat, yang menyebabkan runtuhnya kekuatan Cina sebagai pusat dunia (Zhongguo). Pemecahan masalah tersebut ada pada perbaikan yang dilakukan oleh diri sendiri, dengan cara yang berbeda pada masing-masing aliran. Pada akhirnya aliran-aliran ini sendiri berebut pengaruh dan dipedomani oleh masing-masing negara.
Pemikiran-pemikiran ini terus berkembang dengan coraknya masing-masing, dan pada akhirnya, aliran yang berkembang pesat dan bertahan bahkan hingga kini adalah Konfusianisme (yang telah diperbarui pada zaman Tang), Daoisme (yang kini banyak berkembang, bahkan menjadi agama sendiri) dan Buddhisme (yang telah mengalami sinifikasi dan berbeda dengan corak agam Buddha India). Dari semua aliran ini, yang bukan berasal dari Cina dan muncul pada masa yang berbeda (Buddhisme datang pada masa dinasti Han Barat pada abad ke-1) hanyalah Buddhisme dan itupun telah mengalami sinifikasi sehingga sangat kental dengan warna “Cina” di dalamya.
Pola-pola pemikiran inilah yang kemudian menjadi dasar dari segala perbuatan orang Cina. Satu hal yang menjadi persamaan dari aliran-aliran ini adalah penekanannya pada hal moralitas. Ini berbeda dengan corak filsafat Barat yang menekankan pada kontemplasi dan pencarian kebenaran. Pola filsafat Cina muncul untuk menjawab pertanyaan mengenai kenegaraan dan bagaimana “mengatur” manusia (sistem kontrol sosial masyarakat), coba bandingkan dengan pola Socrates, Plato dan Aristoteles yang pada awalannya lebih bersifat metafisis.
Perlu diingat bahwa filsafat ini muncul untuk menjawab pertanyaan bagaimana mengatur manusia dan menciptakan negara yang kuat (dipercaya bahwa sejak dulu tujuan dari para intelektual adalah membuat negara kaya dan kuat / fu qiang). Oleh karena itu, tidak heran bahwa filsafat yang muncul juga membawa corak yang sama. Misalnya saja, Konfusianisme yang menekankan pada pendidikan moral untuk menciptakan masyarakat sejahtera, atau oposannya, legalisme, yang menekankan pada penerapan hukum untuk mengatur masyarakat dan manusia yang “jahat”.
Bahasan mengenai kebudayaan dan pemikiran Cina akan sangat sulit dan panjang untuk dijelaskan. Untuk selanjutnya saya mengharapkan komentar dan pertanyaan serta tanggapan dari pembaca mengenai kebudayaan Cina. Saya akan coba menanggapi dengan penjelasan yang lebih rinci lagi.
Pemikiran Cina kuno mulai berkembang sejak masa dinasti Zhou Timur (770 – 256 SM), tepatnya pada masa Musim Semi dan Musim Gugur (nama yang diambil dari Spring and Autumn Annals). Pada masa ini, pemikiran dan berbagai negara bermunculan (semi) dan hancur (gugur) dengan banyaknya, hingga muncul perkataan “seratus bunga bermekaran seratus pemikiran bermunculan”. Pada masa ini juga muncul nama-nama besar seperti Kong Zi (Konfusianisme), Lao Zi (Dao), Mo Zi (Mohisme), Han Feizi (Legalisme) hingga jenderal besar seperti Sun Zi.
Perlu diingat bahwa bangsa Cina adalah bangsa yang menerapkan pemikiran yang inward looking sehingga dalam menghadapi masalah mereka selalu melihat pemecahannya dari dalam diri mereka sendiri. Hal yang sama berlaku juga pada masa itu. Peperangan yang terus berlangsung (hingga akhirnya kekuasaan mengerucut hingga 7 negara pada Warring States / Zhan Guo, yang akan dibahas pada posting lain) dicari akar permasalahannya dan pemecahannya dari dalam diri mereka sendiri.
Kesimpulan yang ditarik oleh sebagian besar dari pemikir-pemikir klasik itu adalah rusak dan korupnya masyarakat, yang menyebabkan runtuhnya kekuatan Cina sebagai pusat dunia (Zhongguo). Pemecahan masalah tersebut ada pada perbaikan yang dilakukan oleh diri sendiri, dengan cara yang berbeda pada masing-masing aliran. Pada akhirnya aliran-aliran ini sendiri berebut pengaruh dan dipedomani oleh masing-masing negara.
Pemikiran-pemikiran ini terus berkembang dengan coraknya masing-masing, dan pada akhirnya, aliran yang berkembang pesat dan bertahan bahkan hingga kini adalah Konfusianisme (yang telah diperbarui pada zaman Tang), Daoisme (yang kini banyak berkembang, bahkan menjadi agama sendiri) dan Buddhisme (yang telah mengalami sinifikasi dan berbeda dengan corak agam Buddha India). Dari semua aliran ini, yang bukan berasal dari Cina dan muncul pada masa yang berbeda (Buddhisme datang pada masa dinasti Han Barat pada abad ke-1) hanyalah Buddhisme dan itupun telah mengalami sinifikasi sehingga sangat kental dengan warna “Cina” di dalamya.
Pola-pola pemikiran inilah yang kemudian menjadi dasar dari segala perbuatan orang Cina. Satu hal yang menjadi persamaan dari aliran-aliran ini adalah penekanannya pada hal moralitas. Ini berbeda dengan corak filsafat Barat yang menekankan pada kontemplasi dan pencarian kebenaran. Pola filsafat Cina muncul untuk menjawab pertanyaan mengenai kenegaraan dan bagaimana “mengatur” manusia (sistem kontrol sosial masyarakat), coba bandingkan dengan pola Socrates, Plato dan Aristoteles yang pada awalannya lebih bersifat metafisis.
Perlu diingat bahwa filsafat ini muncul untuk menjawab pertanyaan bagaimana mengatur manusia dan menciptakan negara yang kuat (dipercaya bahwa sejak dulu tujuan dari para intelektual adalah membuat negara kaya dan kuat / fu qiang). Oleh karena itu, tidak heran bahwa filsafat yang muncul juga membawa corak yang sama. Misalnya saja, Konfusianisme yang menekankan pada pendidikan moral untuk menciptakan masyarakat sejahtera, atau oposannya, legalisme, yang menekankan pada penerapan hukum untuk mengatur masyarakat dan manusia yang “jahat”.
Bahasan mengenai kebudayaan dan pemikiran Cina akan sangat sulit dan panjang untuk dijelaskan. Untuk selanjutnya saya mengharapkan komentar dan pertanyaan serta tanggapan dari pembaca mengenai kebudayaan Cina. Saya akan coba menanggapi dengan penjelasan yang lebih rinci lagi.
Koordinasi dan Komunikasi Massa pada Masa Mao Zedong
Bagaimanakah komunikasi dan koordinasi massa pada masa China-Mao Zedong? Benarkah sebagai sebuah Negara sosialis mereka menggunakan tangan besi dari pemerintah untuk mengarahkan masyarakat untuk melakuakn sesuai dengan keinginan penguasa? Ataukah ada cara lain yang dilakukan oleh rezim pemerintah China-Mao untuk mengarahkan keinginan masyarakat?
Pertanyaan itu bisa dijawab dengan memperhatikan tulisan dari Charles Lindblom mengenai koordinasi massa pada Politics and Market. Dalam buku ini, beliau menjelaskan tentang cara koordinasi massa yang lazim digunakan pada dunia massa Perang Dingin.
Dalam bukunya, Lindblom menyatakan bahwa koordinasi massa dilakukan dengan 3 macam mekanisme: Pasar, kekuasaan dan perseptoral. Pada mekanisme pasar, Negara lepas tangan terhadap kegiatan masyarakat dan politik. Ini berbeda 180ยบ dengan system authority yang mengandalkan pada kuasa Negara untuk mengatur masyarakatnya. Sementara itu, beliau menulis bahwa ada satu lagi cara komando masyarakat yaitu dengan perseptoral (persuasi).
Sistem ini digunakan oleh pemerintah dengan berbagai cara. Mulai dari propaganda melalui surat kabar (yang mana pada waktu itu semua dikendalikan di bawah pemerintah dengan “rajanya” Renmin Ribao) hingga pembentukan kelompok diskusi dengan “konsul2” yang ditunuk dan dibiayai pemerintah pada apa yang disebut sebagai “ritual Maois”.
Segala macam kegiatan ini dilakukan untuk mendoktrin masyarakat China dengan sosialisme dan sikap-sikap yang sesuai dengan ajaran Mao Zedong. Di sini, propaganda dilakukan dengan diperkuat oleh system authority yang sangat kuat dan memaksa masyarakat untuk mengikuti segala kegiatan itu (biasanya setelah bertani).
Setelah sosialisme berhasil ditanamkan dengan cukup kuat, baru dilakukan penerapan system perseptoral pada masyarakat Cina. Kader militant yang diperlukan untuk memberikan “persuasi” dan propaganda telah tersedia dengan baik dan siap untuk digunakan oleh partai. Mulai saat inilah dilakukan penerapan perseptoral. Kelompok-kelompok diskusi yang tadinya digunakan untuk memberikan doktrinasi kini digeser fungsinya menjadi lembaga mobilisasi massa dengan cara memberikan insentif material (sebelum komune) dan insentif moral.
System ini juga yang membuat system komune berhasil diterapkan dengan mulus. Bermula dari penerapan komune di daerah Hsing-yang yang cukup berhasil. Keberhasilan komune percontohan ini dipublikasikan besar-besaran dan dipuji secara berlebihan oleh Mao Zedong. Pada akhirnya, dengan propaganda dan publikasi positif seperti itu, rakyat daerah lain berlomba-lomba meminta daerahnya dijadikan komune, dan PKC berhasil membuat komune di seluruh Cina menjadi kenyataan.
Pertanyaan itu bisa dijawab dengan memperhatikan tulisan dari Charles Lindblom mengenai koordinasi massa pada Politics and Market. Dalam buku ini, beliau menjelaskan tentang cara koordinasi massa yang lazim digunakan pada dunia massa Perang Dingin.
Dalam bukunya, Lindblom menyatakan bahwa koordinasi massa dilakukan dengan 3 macam mekanisme: Pasar, kekuasaan dan perseptoral. Pada mekanisme pasar, Negara lepas tangan terhadap kegiatan masyarakat dan politik. Ini berbeda 180ยบ dengan system authority yang mengandalkan pada kuasa Negara untuk mengatur masyarakatnya. Sementara itu, beliau menulis bahwa ada satu lagi cara komando masyarakat yaitu dengan perseptoral (persuasi).
Sistem ini digunakan oleh pemerintah dengan berbagai cara. Mulai dari propaganda melalui surat kabar (yang mana pada waktu itu semua dikendalikan di bawah pemerintah dengan “rajanya” Renmin Ribao) hingga pembentukan kelompok diskusi dengan “konsul2” yang ditunuk dan dibiayai pemerintah pada apa yang disebut sebagai “ritual Maois”.
Segala macam kegiatan ini dilakukan untuk mendoktrin masyarakat China dengan sosialisme dan sikap-sikap yang sesuai dengan ajaran Mao Zedong. Di sini, propaganda dilakukan dengan diperkuat oleh system authority yang sangat kuat dan memaksa masyarakat untuk mengikuti segala kegiatan itu (biasanya setelah bertani).
Setelah sosialisme berhasil ditanamkan dengan cukup kuat, baru dilakukan penerapan system perseptoral pada masyarakat Cina. Kader militant yang diperlukan untuk memberikan “persuasi” dan propaganda telah tersedia dengan baik dan siap untuk digunakan oleh partai. Mulai saat inilah dilakukan penerapan perseptoral. Kelompok-kelompok diskusi yang tadinya digunakan untuk memberikan doktrinasi kini digeser fungsinya menjadi lembaga mobilisasi massa dengan cara memberikan insentif material (sebelum komune) dan insentif moral.
System ini juga yang membuat system komune berhasil diterapkan dengan mulus. Bermula dari penerapan komune di daerah Hsing-yang yang cukup berhasil. Keberhasilan komune percontohan ini dipublikasikan besar-besaran dan dipuji secara berlebihan oleh Mao Zedong. Pada akhirnya, dengan propaganda dan publikasi positif seperti itu, rakyat daerah lain berlomba-lomba meminta daerahnya dijadikan komune, dan PKC berhasil membuat komune di seluruh Cina menjadi kenyataan.
China-Tibet: Budaya vs Modernisasi
Persoalan China – Tibet yang banyak dibicarakan akhir-akhir ini memang sudah sangat panjang. Siapa yang menyangka bahwa akar permasalahan dari berbagai keributan yang muncul menjelang Olimpiade Beijing ini ternyata adalah sebuah gerakan kaum komunis China yang dilakukan pada tahun 1950? Kenyataan inilah yang akan coba dibahas pada tulisan kali ini.
Pada saat perang pembebasan China pada 1949, salah satu janji yang diberikan oleh pihak PKC adalah persamaan hak dari setiap orang, yang diwujudkan dalam penghapusan kelas masyarakat. Secara praktis, ini berarti merombak susunan social masyarakat lama yang bertumpu pada penguasa tuan tanah sebagai “raja kecil” pada daerah yang dimilikinya. Dalam hal ini, mereka berlaku sebagai kaum kapitalis (karena mereka satu-satunya yang memiliki kapital, tanah) dan para petani penggarap dan penyewa adalah kaum buruh (yang diperas tenaganya oleh kaum kapitalis).
Secara praktis, janji ini dipraktekkan dalam sebuah gerakan yang dinamakan land reform. Gerakan ini, di samping perang pembebasan dan pengusiran Jepang dari tanah China, menjadi legitimasi valid dari kekuasaan PKC di tanah China. Berkat tiga hal itulah kekuasaan PKC di tanah RRC diakui oleh rakyat banyak. Gerakan ini kemudian dilakukan ke seluruh penjuru China, dan pada aneksasi (baca: pembebasan) Tibet pada 1950, gerakan ini juga dilakukan.
Pada awal masuknya tangan-tangan PKC ke tanah Tibet, Dalai Lama sebagai Lama yang tertinggi mengakui kekuasaan PKC atas tanah PKC. Sayangnya, ketika gerakan ini direalisasikan, ternyata mengalami resistensi dari kaum aristokrat. Kaum aristokrat ini adalah kaum bangsawan yang menguasai penguasaan tanh dan berbagai harta kekayaan lain (sistem sosial masyarakat Tibet adalah penguasaan kekayaan dan kapital ekonomi pada golongan Lama/petinggi agama dan aristokrat/bangsawan yang hanya berjumlah 3% – 5% dari seluruh jumlah penduduk Tibet pada masa itu).
Yang menjadi masalah, sebagaimanahalnya berbagai kebudayaan di mana agama memegang peran sebagai penyambung kepercayaan rakyat, apalagi ditambah penokohan kharismatik pada diri Dalai Lama, rakyat mengakui dan menjalani kehidupan dengan senang hati. Kelihatannya, terlepas dari berbagai perubahan dan modernisasi yang dilakukan China, masyarakat Tibet masih tetap berpegang pada kepercayaan pada Dalai Lama dan masih berpegang pada kebudayaan lama yang religius.
Pada masa awal land reform inilah susunan masyarakat Tibet mengalami fase perombakan sosial besar-besaran. Dengan mengumandangkan semangat revolusi dengan cara kekerasan ala Marx, pelaksanaan land reform dilakukan dengan cara-cara yang brutal, yang ditujukan kepada kaum aristokrat dan kaum Lama yang selama ini menjadi pihak yang hidup sejahtera.
Pelaksanaan land reform yang dilakukan dengan cara kekerasan inilah yang menimbulkan resistensi besar dari rakyat Tibet. Berdasarkan film semi-dokumenter “Kundun”, pelaksanaan gerakan dilakukan dengan cara pembunuhan dan tentu saja ini berlawanan dengan sikap hidup mereka selama ini yang berdasarkan pada sikap anti kekerasan. Jelas saja, tindakan-tindakan tentara pembebasan (PLA) mendapat perlawanan dari rakyat.
Dari paparan di atas, bisa dilihat bahwa permasalahan China-Tibet adalah permasalahan yang berdasar dari permasalahan budaya yang berlawanan. Budaya Marxisme-Komunisme mendasarkan revolusi yang harus dilakukan dengan kekerasan, sementara budaya Tibet mendasarkan diri pada sikap anti kekerasan yang sangat kental, sesuai dengan citra Dalai Lama yang dikabarkan merupakan titisan dari Buddha kasih sayang (walaupun Buddha Lamaisme cukup berbeda dengan ajaran Buddha pada umumnya, misalnya saja makan daging atau perlakuan terhadap orang yang meninggal).
Permasalahan ini sangat terlihat dalam pelaksanaan land reform tersebut. Militer China (PLA) melakukan berbagai kekerasan, sementara pihak sipil Tibet melakukan tindakan tidak melawan. Tentu saja kondisi yang berbeda belum tentu akan ditemukan pada masa ini, apalagi bila melihat dari kenyataan di lapangan bahwa belum tentu yang melakukan tindakan anarki di Tibet (pada masa kini) adalah tentara Tibet, tapi merupakan propaganda dan agitasi yang dilakukan oleh sipil untuk mendiskreditkan China.
Misalnya saja, dari toko yang dirusak. Kenyataannya, kebanyakan toko yang dirusak adalah toko milik orang Han (suku mayoritas di China), dan bukan milik suku minoritas Tibet. Berbagai foto yang muncul ke luar juga adalah foto rekayasa atau foto palsu yang bukan dari kejadian yang sebenarnya. Wartawan, yang katanya dihalang-halangi untuk masuk ke Tibet, juga ternyata tidak mengalami halangan berarti (kesaksian seorang wartawan senior Kompas). Jadi apa benar bahwa militer China melakukan tindakan represif dan anarkis di Tibet?
Sebaliknya, banyak juga kejadian “anti-China” yang muncul akhir-akhir ini ternyata hanyalah akal-akalan. Misalnya saja kejadian “rebutan” obor Olimpiade yang terjadi baru-baru ini. Banyak yang mengatakan bahwa orang yang “merebut” ternyata juga adalah orang yang ikut terlibat dalam demo pro-China. Ini mungkin dilakukan untuk memobilisasi rakyat dan meningkatkan rasa nasiolnalisme penduduk China.
Apapun, yang menjadi masalah adalah nasib Tibet sendiri. Pertarungan budaya vs modernisme yang diusung masing-masing pihak pada akhirnya akan kembali ke rakyat Tibet sendiri. Yang manakah yang akan menjadi masa depan Tibet? Bersama China dan menjadi besar, atau merdeka dan menjadi penentu nasibnya sendiri.
Pada saat perang pembebasan China pada 1949, salah satu janji yang diberikan oleh pihak PKC adalah persamaan hak dari setiap orang, yang diwujudkan dalam penghapusan kelas masyarakat. Secara praktis, ini berarti merombak susunan social masyarakat lama yang bertumpu pada penguasa tuan tanah sebagai “raja kecil” pada daerah yang dimilikinya. Dalam hal ini, mereka berlaku sebagai kaum kapitalis (karena mereka satu-satunya yang memiliki kapital, tanah) dan para petani penggarap dan penyewa adalah kaum buruh (yang diperas tenaganya oleh kaum kapitalis).
Secara praktis, janji ini dipraktekkan dalam sebuah gerakan yang dinamakan land reform. Gerakan ini, di samping perang pembebasan dan pengusiran Jepang dari tanah China, menjadi legitimasi valid dari kekuasaan PKC di tanah China. Berkat tiga hal itulah kekuasaan PKC di tanah RRC diakui oleh rakyat banyak. Gerakan ini kemudian dilakukan ke seluruh penjuru China, dan pada aneksasi (baca: pembebasan) Tibet pada 1950, gerakan ini juga dilakukan.
Pada awal masuknya tangan-tangan PKC ke tanah Tibet, Dalai Lama sebagai Lama yang tertinggi mengakui kekuasaan PKC atas tanah PKC. Sayangnya, ketika gerakan ini direalisasikan, ternyata mengalami resistensi dari kaum aristokrat. Kaum aristokrat ini adalah kaum bangsawan yang menguasai penguasaan tanh dan berbagai harta kekayaan lain (sistem sosial masyarakat Tibet adalah penguasaan kekayaan dan kapital ekonomi pada golongan Lama/petinggi agama dan aristokrat/bangsawan yang hanya berjumlah 3% – 5% dari seluruh jumlah penduduk Tibet pada masa itu).
Yang menjadi masalah, sebagaimanahalnya berbagai kebudayaan di mana agama memegang peran sebagai penyambung kepercayaan rakyat, apalagi ditambah penokohan kharismatik pada diri Dalai Lama, rakyat mengakui dan menjalani kehidupan dengan senang hati. Kelihatannya, terlepas dari berbagai perubahan dan modernisasi yang dilakukan China, masyarakat Tibet masih tetap berpegang pada kepercayaan pada Dalai Lama dan masih berpegang pada kebudayaan lama yang religius.
Pada masa awal land reform inilah susunan masyarakat Tibet mengalami fase perombakan sosial besar-besaran. Dengan mengumandangkan semangat revolusi dengan cara kekerasan ala Marx, pelaksanaan land reform dilakukan dengan cara-cara yang brutal, yang ditujukan kepada kaum aristokrat dan kaum Lama yang selama ini menjadi pihak yang hidup sejahtera.
Pelaksanaan land reform yang dilakukan dengan cara kekerasan inilah yang menimbulkan resistensi besar dari rakyat Tibet. Berdasarkan film semi-dokumenter “Kundun”, pelaksanaan gerakan dilakukan dengan cara pembunuhan dan tentu saja ini berlawanan dengan sikap hidup mereka selama ini yang berdasarkan pada sikap anti kekerasan. Jelas saja, tindakan-tindakan tentara pembebasan (PLA) mendapat perlawanan dari rakyat.
Dari paparan di atas, bisa dilihat bahwa permasalahan China-Tibet adalah permasalahan yang berdasar dari permasalahan budaya yang berlawanan. Budaya Marxisme-Komunisme mendasarkan revolusi yang harus dilakukan dengan kekerasan, sementara budaya Tibet mendasarkan diri pada sikap anti kekerasan yang sangat kental, sesuai dengan citra Dalai Lama yang dikabarkan merupakan titisan dari Buddha kasih sayang (walaupun Buddha Lamaisme cukup berbeda dengan ajaran Buddha pada umumnya, misalnya saja makan daging atau perlakuan terhadap orang yang meninggal).
Permasalahan ini sangat terlihat dalam pelaksanaan land reform tersebut. Militer China (PLA) melakukan berbagai kekerasan, sementara pihak sipil Tibet melakukan tindakan tidak melawan. Tentu saja kondisi yang berbeda belum tentu akan ditemukan pada masa ini, apalagi bila melihat dari kenyataan di lapangan bahwa belum tentu yang melakukan tindakan anarki di Tibet (pada masa kini) adalah tentara Tibet, tapi merupakan propaganda dan agitasi yang dilakukan oleh sipil untuk mendiskreditkan China.
Misalnya saja, dari toko yang dirusak. Kenyataannya, kebanyakan toko yang dirusak adalah toko milik orang Han (suku mayoritas di China), dan bukan milik suku minoritas Tibet. Berbagai foto yang muncul ke luar juga adalah foto rekayasa atau foto palsu yang bukan dari kejadian yang sebenarnya. Wartawan, yang katanya dihalang-halangi untuk masuk ke Tibet, juga ternyata tidak mengalami halangan berarti (kesaksian seorang wartawan senior Kompas). Jadi apa benar bahwa militer China melakukan tindakan represif dan anarkis di Tibet?
Sebaliknya, banyak juga kejadian “anti-China” yang muncul akhir-akhir ini ternyata hanyalah akal-akalan. Misalnya saja kejadian “rebutan” obor Olimpiade yang terjadi baru-baru ini. Banyak yang mengatakan bahwa orang yang “merebut” ternyata juga adalah orang yang ikut terlibat dalam demo pro-China. Ini mungkin dilakukan untuk memobilisasi rakyat dan meningkatkan rasa nasiolnalisme penduduk China.
Apapun, yang menjadi masalah adalah nasib Tibet sendiri. Pertarungan budaya vs modernisme yang diusung masing-masing pihak pada akhirnya akan kembali ke rakyat Tibet sendiri. Yang manakah yang akan menjadi masa depan Tibet? Bersama China dan menjadi besar, atau merdeka dan menjadi penentu nasibnya sendiri.
Langganan:
Postingan (Atom)